“KESUSASTRAAN ARAB DI ALJAZAIR DAN TUNISIA”
OLEH:
RIYADAH SAGIRAH
SITTI MARWAH DM
JURUSAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ILMU BUDAYA (FIB)
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulisan makalah ini
dapat kami selesaikan.
Sholawat dan salam
tak lupa kita kirimkan kepada Sayyidul anbiya’ wal mursalin yaitu nabi
Muhammad SAW, yang telah membebaskan umat manusia dari zaman kejahiliaan yang
gelap gulita menuju zaman yang terang benderang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Makalah ini membahas
tentang “Kesusastraan Arab di Aljazair dan Tunisia” yang tentunya Dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekeliruan, maka dari itu kritik dan saran membangun dari pembaca sangat kami
harapkan sebagai bahan perbaikan, karena kami menyadari bahwa “tiada gading yang tak retak, tiada lautan
yang tak berombak dan tiada manusia yang tak luput dari salah dan khilaf”.
Sebagai penutup, kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam proses
penyusunan makalah ini. Dan semoga memberi manfaat.
Makassar, Desember 2013
Kelompok VI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
1.
Aljazair
Aljazair
adalah generasi yang berasal dari negara-negara Arab ketika masuknya kekuasaan Islam dan masa setelahnya.
Selanjutnya orang-orang Arab bersatu bersama orang-orang Amazigh (penduduk asli
Aljazair) dan menjadi satu umat dengan agama Islam, bahasa satu dengan bahasa
Arab, dan bersatu menghadapi penjajah Barat.
Negara
produksi gas terbesar kedua di dunia ini pernah mengalami "masa-masa
hitam". Pada tahun 1990 Aljazair dilanda perang saudara penuh kekerasan
dan berkepanjangan.
2.
Tunisia
Sedangkan Tunisia,
sebuah negara kecil di belahan utara Afrika, luasnya hanya sedikit lebih besar
dari luas pulau Jawa (Tunisia: 161.610 km2, pulau Jawa: 126.700 km²) sedangkan
jumlah penduduknya diperkirakan hampir sebanding dengan jumlah penduduk di
ibukota Jakarta, yaitu sekitar 10 juta jiwa.
Mayoritas
penduduknya beragama Islam dengan pola pikir independen, dalam arti kata,
terbuka dan tidak ekstrim. Kendati demikian, meski mereka beragama Islam, masih
sedikit sekali yang menerapkan simbol keislamannya, dengan menggunakan
kerudung.
Dari segi
mazhab, Tunisia merupakan negara penganut mazhab Maliki, salah satu ciri
khasnya adalah arsitektur menara masjid-masjidnya yang berbentuk persegi empat.
Bahasa yang
digunakan di Tunisia adalah bahasa Arab, dan bahasa Prancis sebagai bahasa
kedua, karena Tunisia merupakan negara kolonial Prancis yang merdeka sejak
1956. Penulisan berbagai macam banner di jalanan, atau menu-menu di café,
biasanya di tulis dengan dua tulisan, Arab dan Prancis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah kesusastraan di Aljazair dan Tunisia?
2.
Siapa
tokoh sastrawan di Aljazair dan Tunisia dan karyanya?
3.
Bagaimana
karakteristik karya sastra, baik di Aljazair maupun Tunisia?
4.
Apa
berita seputar sastra di Aljazair dan Tunisia terkait dgn indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
kesusastraan arab di Aljazair dan Tunisia
1.
Aljazair
Negara
Republik Demokrasi Rakyat Aljazair (Al-Jumhûriyah al-Jazâ`iriyah
ad-Dîmuqrâtiyah ash-Sha’biyah atau People's Democratic Republic of Algeria)
memiliki sejarah panjang dan heroik. Dalam situs resmi kepresidenan negara
Aljazair disebutkan, bahwa manusia sudah ada di Aljazair sejak 5000 tahun
sebelum masehi. Penduduk itu lebih dikenal dengan sebutan Nomadiy.
Penduduk
asli Aljazair adalah dari Amazigh atau Barbar yang sekarang tinggal 17% dari
penduduk Aljazair. Nama ini telah digunakan sejak pendudukan Romawi, yaitu
sebutan untuk Qabail, Syawiyah, Thawariq, Bani Yaqzan. Mereka semua adalah
penduduk asli Aljazair.
Sementara
yang saat ini menempati 83% penduduk Aljazair adalah generasi yang berasal dari
negara-negara Arab ketika masuknya kekuasaan Islam dan masa setelahnya.
Selanjutnya orang-orang Arab bersatu bersama orang-orang Amazigh (penduduk asli
Aljazair) dan menjadi satu umat dengan agama Islam, bahasa satu dengan bahasa
Arab, dan bersatu menghadapi penjajah Barat.
dari tahun
1830 Al-jazair dijajah prancis dan Setelah dijajah selama 150 tahun lebih, pada
1954, Front Pembebasan Nasional (FLN) yang didukung penuh rakyat Aljazair
melancarkan perang gerilya. Dan, setelah hampir 1 dekade bergerilya di kota dan
desa, dengan berkorban nyawa dan harta benda, akhirnya mereka berhasil memaksa
Perancis keluar pada 1962. Oleh karena itu kemudian Aljazair dikenal dengan
Negara milyûn syahîd (sejuta pahlawan). Aljazair memploklamirkan merdeka
sebagai Negara Republik kesatuan tepatnya pada 5 Juli 1962. Saat ini bentuk
Negara ini berdasarkan republik presidensial.
Aljazair
sempat menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa utama di samping bahasa Arab.
Tapi pada bulan Desember 1990, Majelis Rakyat Nasional (MPR) mengesahkan aturan
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Aljazair dan melarang
perusahaan-perusahaan swasta dan partai politik menggunakan bahasa Perancis dan
Barbar. Akibat kebijakan ini, warga Prancis dan keturunanya banyak yang keluar
dari Aljazair.
Karya-karya
sastra Aljazair banyak yang dipengaruhi oleh
iklim perang kemerdekaan melawan Perancis. meskipun sekaligus timbul
paradoks, yakni banyak sastrawan negera di
Afrika Utara ini yang menulis karya sastranya dalam bahasa Perancis dan
gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis.
2.
Tunisia
Tunisia,
sebuah negara kecil di belahan utara Afrika, luasnya hanya sedikit lebih besar
dari luas pulau Jawa (Tunisia: 161.610 km2, pulau Jawa: 126.700 km²) sedangkan
jumlah penduduknya diperkirakan hampir sebanding dengan jumlah penduduk di
ibukota Jakarta, yaitu sekitar 10 juta jiwa.
Mayoritas
penduduknya beragama Islam dengan pola pikir independen, dalam arti kata,
terbuka dan tidak ekstrim. Kendati demikian, meski mereka beragama Islam, masih
sedikit sekali yang menerapkan simbol keislamannya, dengan menggunakan
kerudung.
Dari segi
mazhab, Tunisia merupakan negara penganut mazhab Maliki, salah satu ciri
khasnya adalah arsitektur menara masjid-masjidnya yang berbentuk persegi empat,
seperti menara masjid Jami’ el Hawa namanya. Jami' atau Jemi' adalah sebutan
untuk masjid yang artinya adalah masjid itu sendiri.
Bahasa yang
digunakan di Tunisia adalah bahasa Arab, dan bahasa Prancis sebagai bahasa
kedua, karena Tunisia merupakan negara kolonial Prancis yang merdeka sejak
1956. Penulisan berbagai macam banner di jalanan, atau menu-menu di café,
biasanya di tulis dengan dua tulisan, Arab dan Prancis. Bahkan SMS
pemberitahuan dari provider telpon seluler atau dari suatu instansi selalu
menggunakan bahasa prancis.
B.
Tokoh
sastrawan di Aljazair dan Tunisia
1.
Aljazair
1.1
Yasmina
Khadra
Yasmina Khadra bukanlah nama sebenarnya.
Sebagaimana terungkap dalam L’Ecrivain, otobiografinya yang terbit pada 2001,
nama aslinya Mohammed Moulessehoul.
Pria keturunan Aljazair ini kini menetap di Prancis, setelah lama tinggal di
Meksiko. Khadra menulis banyak buku, antara lain :
a.
L’Imposture
des mots (The Imposture of the Words),
b.
Les
Hirondelles de Kaboul (The Swallows of Kabul),
c.
L’Attentat
(The Attack),
d.
Au
nom de Dieu (In the Name of God),
e.
dan
Reves de Loup (Wolf Dreams).
The Sirens of Baghdad adalah novel ketiga
dari trilogi karya Yasmina Khadra tentang fundamentalisne Islam. Dalam novel
ini, Khadra mengajak pembaca mengunjungi Baghdad yang tercabik-cabik akibat
perang.
Seorang pemuda terpaksa hengkang dari
Universitas Baghdad saat Amerika menyerbu Iraq. Ia kembali ke kampungnya di
tengah padang pasir. Tetapi di sana, ia mendapati serdadu Amerika membunuh
seorang pemuda idiot, juga pesawat Amerika yang tengah membom-bardir pesta
pernikahan di kawasan pinggiran desa. Tak lama berselang, pada suatu malam,
sekelompok tentara memaksa masuk ke dalam rumahnya dan menyiksa ayahnya.
Atas peristiwa itu, sang pemuda memutuskan
kembali ke kota Baghdad yang telah luluh-lantak. Bergemuruh dalam dadanya tekad
membalas dendam. Tak urung, sebuah kelompok garis keras tertentu pun
dimasukinya. Untuk suatu misi rahasia, ia dikirim ke Beirut, hingga akhirnya
tugas berat membawanya ke London. Menjelang detik-detik penerbangannya menuju
London, konflik batin tiba-tiba mengoyak pendiriannya: di satu sisi berhasrat
menuntaskan misi dan di sisi lain keinginan itu ditahan oleh prinsip-prinsip
moral yang dianutnya.
Dengan ketajaman analisis atas peristiwa
kekerasan dan akibatnya bagi diri seseorang, Khadra berhasil menggali
situasi-situasi pelik, yang tak mungkin dilakukan penulis lain. Seperti
karya-karya sebelumnya, dengan penuh kekuatan, novel ini mengungkap naluri
terdalam manusia, dan membuktikan bahwa kebaikan pasti menang sekalipun dalam
situasi amat mengerikan.
2.
Tunisia
2.1
Ibnu
Khaldun
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi
Islam'. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah
pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz
Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood
menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana.
Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar
yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki
nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn
Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut
(Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah
semenanjung itu ditaklukan Islam.
Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen,
keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia.
Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan
milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam
komunitas kelas atas.
Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam
berada diambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di
ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan
wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh
lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.
Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya
sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Alquran dan menguasai tajwid. Selain
itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama
Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan
dalam semua bidang studi.
Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat
menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang
menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death
itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya memaparkan,
di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik
seperti filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik,
sejarah, ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab
Maliki.
Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa
berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan
Andalusia sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing
memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak heran,
bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras, saling
menjatuhkan, saling menghancurkan.
Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah
diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs yang berkedudukan
di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya
itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di
Maghrib Tengah (Aljazair).
Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu
Anam, penguasa Bani Marin dari Fez, Maroko, yang tengah berada di Maghrib
Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu
pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu
selama dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan
negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah murka.
Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H.
Sultan Bani Ahmar menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta negar
di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville. Tugasnya
dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama kemudian, hubungannya dengan
Sultan kemudian retak.
Dua tahun berselang, jabatan strategis
kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya
menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun
kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah
(sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.
Di awali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah
yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab
Al-`Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di
tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al'Ibar.
Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria
(Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun
disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia
didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak
lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
Al-Muqaddimah Karya yang Abadi. Setelah mundur
dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya menyepi di
Qal'at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat
tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah
karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.
Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya
yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil
penelitian luas yang terbaik,'' ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang
berjudul Al-Ta'rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir
Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J
Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang
sejarah.
Karya Ibnu Khaldun yang cukup terkenal,
antaralain;
- Kitab al-I’bar wa Dhuan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-’Arab wa al-’Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahiim min Dzawi al-Suthan al-Akbar.
- Karya yang dilihat dari judulnya mempunyai gaya sajak yang tinggi ini dapat diterjemahkan menjadi; Kitab contoh-contoh dan rekaman tentang asal-usul dan peristiwa hari-hari arab, Persia, Barbar dan orang-orang yang sezaman dengan mereka yang memiliki kekuatan besar. Oleh karena judulnya terlalu panjang, orang sering menyebutnya dengan kitab al- ‘Ibar saja, atau kadang cukup dengan sebutan Tarikh Ibnu Khaldun. (Ma’arif, 1996:12)
- Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun.Dalam volume tujuh jilid, kajian yang dikandung begitu luas menyangkut masalah-maslah sosial, para Khaldunian cenderung menganggapnya sebagai ensiklopedia. (Suharto, 2003:65)
- kitab al-Ta ‘rif lbnu Khaldun wa Rihlatuhu Garban wa Syarqan. Adalah kitab otobiografi Ibnu Khaldun secara lengkap di mana ia dipandang sebagai orang besar abad pertengahan yang paling sempurna meninggalkan riwayat hidupnya.(Khudairi, 1987:29)
- Karya-karya lain. Selain karya yang telah disebutkan di atas, Ibnu Khaldun sebenarnya memiliki karya-karya lainnya seperti; Burdah al-Bushairi,tentang logika dan aritmatika dan beberapa resume ilmu fiqih. Sementara itu masih ada dua karya Ibnu Khaldun yang masih sempat dilestarikan yaitu sebuah ikhtisar yang ditulis Ibnu Khaldun dengan tangannya sendiri ini diberijudul Lubab al-Muhashal fl Ushul al-Din. Dan kitab Syifa al-Sailfi Tahdzib al-Masatt yang ditulis Ibnu Khaldun ketika berada di Fez, adalah karya pertama yang berbicara tentang teologi skolastik dan karya kedua membahas tentang mistisisme konvensional.
2.2
Abul
Kasem Chebi
Abul Kasem Chebi dilahirkan di kota Cheba,
Tunisia yang kemudian menjadi nama lakab di belakang namanya, pada tahun 1909
dan meninggal muda dalam usia 25 tahun pada tahun 1934. Kendati demikian,
karya-karya sastranya menjulang ke seluruh dunia Arab. Karya-karya sastranya
yang membakar semangat dan motivasi melawan takdir (nasib) banyak dijadikan
‘nasyid’ dan lagu heroik, yang juga diteriakkan oleh para demonstran Tunisia
ketika menggulingkan Presiden Ben Ali.
Karya sastra Chebi yang mengilhami revolusi
tersebut adalah:
إذا الشعب يوما أراد الحياة فلا بد أن
يستجيب القدر
Apabila sebuah bangsa ingin
“hidup” (merdeka, tinggi, dihormati, maju, dsb),Mereka harus melawan takdir”.
Untuk mengenang jasa-jasanya, di sebuah
gunung batu di kota kelahirannya telah dipahat patung dirinya sebagai sebuah kenangan akan
pemikirannya yang berilian dan maju. Untung tidak dihancurkan sebagaimana
patung Budha di Afghanistan oleh Taliban.
C.
Karakteristik
karya sastra di Aljazair dan Tunisia
Karakteristik
karya sastra di Aljazair dan Tunisia hampir sama yaitu banyak dipengaruhi
oleh iklim perang kemerdekaan melawan
Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera
di Afrika Utara ini yang menulis karya
sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda
dengan gaya pengarang Perancis.
D.
berita
seputar Aljazair dan Tunisia
1.
Aljazair
Indonesia memiliki peran besar dalam
perjuangan kemerdekaan Aljazair. Salah satu bentuk peran penting Indonesia itu
adalah ketika Pemerintah Indonesia mengundang delegasi dari Aljazair untuk
berpartisipasi dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Aljazair
meraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1962.
Peran penting Indonesia itu diungkap dalam
forum seminar internasional yang digelar Kedutaan Besar RI untuk Aljazair di
Gedung Arsip Nasional Aljazair pada Minggu (2/6/2013) dalam rangka peringatan
50 tahun hubungan Indonesia-Aljazair.
Aljazair tidak lupa akan jasa besar presiden
pertama Indonesia, Soekarno, dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bagi negeri
mereka. Sebagai bentuk penghormatan akan jasa Bung Karno, Pemerintah Aljazair
berencana menggunakan nama Proklamator Indonesia itu sebagai nama jalan.
Demikian kata Duta Besar Aljazair untuk
Indonesia, Abdelkrim Belarbi. Ditemui dalam perayaan hari jadi ke-59 di
Jakarta, Belarbi mengatakan bahwa Soekarno dikenal rakyat dan merencanakan akan
membuat jalan yang bernama Soekarno.
2.
Tunisia
Indonesia dan Tunisa bagaikan
saudara jauh yang lama tidak jumpa, dan setelah lima puluh tahun menjalin
kerjasama diplomatik, nama Indonesia kembali bergema sampai ke sudut sudut
kampung pemerintahan kota di Tunisia.
Bagaimana tidak? Setiap
penampilan tim kesenian Indonesia yang khusus didatangkan KBRI
Tunis untuk merayakan peringatan 50 tahun sekaligus mengikuti berbagai festival
yang digelar di berbagai kota di Tunisia, nama Indonesia bagaikan magnet yang
kembali bergema.
"Indonesie, Indonesie, its
good," ujar seorang pemuda saat dijumpai penulis, dan bahkan saat para
penari dari Liga Tari Krida Budaya Universitas Indonesia (UI) yang membawa misi
kesenian Indonesia yang terdiri dari enam penari dan empat pemain musik setiap
tampil dalam berbagai festival, selalu mendapat sambutan meriah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kesusastraan
Arab di Aljazair dan Tunisia hampir
sama,karena bekas penjajahannya hampir sama yaitu di jajah oleh Prancis. Dan
Aljazair sempat menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa utama di samping
bahasa Arab. Tapi pada bulan Desember 1990, Majelis Rakyat Nasional (MPR)
mengesahkan aturan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Aljazair dan
melarang perusahaan-perusahaan swasta dan partai politik menggunakan bahasa
Perancis dan Barbar. Akibat kebijakan ini, warga Prancis dan keturunanya banyak
yang keluar dari Aljazair serta di Tunisia adalah bahasa Arab, dan bahasa
Prancis sebagai bahasa kedua, karena Tunisia merupakan negara kolonial Prancis
yang merdeka sejak 1956. Penulisan berbagai macam banner di jalanan, atau
menu-menu di café, biasanya di tulis dengan dua tulisan, Arab dan Prancis.
B.
SARAN
Pemakalah sadar bahwa masih banyak
kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh sebab itu pemakalah berharap agar
pembaca senantiasa menyampaikan masukannya kepada pemakalah baik itu berupa
kritik atau saran,masukan dari pembaca dapat digunakan sebagai rujukan dalam
pembuatan makalah selanjutnya yang semoga dengan masukan tersebut dapat
menuntun pemakalah yang jauh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
- http://sastra-muslim.blogspot.com/2013/04/kompleksitas-sosial-budaya-yang_3811.html
-
sastrawanpemula.blogspot.com/2013/05/sastra-arab.html
-
tribunnews.com