Selasa, 20 Januari 2015

Gara-gara Nyontek


Aku duduk di samping wali kelasku. Kulihat ibu Ira duduk menunduk tanpa kata. Mutiara bening terjatuh dari matanya sesekali terdengar isak kala mendengarkan kata-kata wakil kepala sekolah. Aku tak tega melihat ibu Ira menangis, namun akupun kecewa pada apa yang telah dilakukannya.
Waktu itu ujian bahasa Inggris. ibu ira selaku guru sejarah, menjadi pengawas ujian di kelasku. Ia  memperbolehkan  kami untuk menyontek. Sungguh aku tak tahan melihat hal itu. Padahal sebelum-sebelumnya kami telah diberikan kisi-kisi soal untuk lebih mudah kami pelajari. Tapi teman-teman malah lebih suka menyontek daripada mengandalkan apa-apa yang telah mereka hafalkan.
Tak tahan melihat hal itu di kelas, aku mengerjakan semua soal semampuku kemudian cepat-cepat keluar meninggalkan kelas dan menuju kamar kecil. Aku  menangis tak tahu harus mengadukan hal ini pada siapa. Sungguh aku merasa ini tidak adil untukku.
Sebagai  siswa kami seharusnya belajar, untuk mendapatkan  pengetahuan sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.  Entah itu saat latihan, ulangan ataupun ujian. Bukan malah menyontek, ataupun sejenisnya. Tetapi teman-temanku lebih senang diperbolehkan membuka catatan terkecuali aku dan 4 orang temanku.
Aku keluar dari kamar kecil. Tak sengaja aku bertemu wali kelasku, ibu Asiyah.
“Farah, apa kamu sakit” tanyanya saat itu.
“tidak bu, hanya sedikit Flu” jawabku menyembunyikan kesedihanku.
Aku tak mau jika aku mengatakan yang sebenarnya teman-temanku akan membenciku dan Ibu Ira akan marah kepadaku.
Selang sehari sejak peristiwa itu, aku lebih sering menyendiri, entah itu di kelas, perpustakaan, di kantin ataupun di taman sekolah. Ku  giatkan diriku untuk lebih banyak belajar, berharap nilaiku lebih diatas teman-temanku. sehingga mereka tahu tanpa menyontek kitapun bisa memperoleh nilai yang jauh lebih baik.
Aku sangat kecewa terhadap apa yang telah dilakukan teman-teman, terlebih pada Ibu Ira. Selaku guru, seharusnya ia tak membolehkan kami menyontek, membuka buku ataupun bertanya pada teman saat ujian. Karena  ujian untuk mengetahui sejauh mana kemampuan kami dalam memehami pelajaran yang telah diajarkan oleh para guru. Tapi ibu Ira  malah sebaliknya.
Seminggu berlalu.
“Farah, apa kamu sudah menerima hasil Ujian bahasa Inggrismu ?” Tanya  Dewi salah seorang temanku. Sejenak sesuana hening tanpa kata-kata, aku hanya bergeming mendengar pertanyaannya.
Angin berhembus, menerpa wajahku yang dibalut jilbab. Aku terus melangkah meninggalkan Dewi menuju ruang BP sambil menatap kertas yang ada di genggamanku. Sesampaiku disana, kutulis keluhkesahku dalam buku harian sekolah. Hingga butiran-butiran bening mengalir dipipiku yang tak dapat lagi kubendung.
Tragedi  itu akhirnya terungkap, ibu Ira mendapat panggilan dari kepala sekolah. Pada saat yang samapula aku didampingi bu Asiyah dipanggil menghadapnya sebagai saksi sekaligus korban. Rupanya mereka telah mengetahui ketidak adilan yang ku rasa dari guru BP yang membaca buku harianku.
Ku lihat ibu Ira duduk menunduk tanpa kata. Pasrah akan konsekuensi yang diberikan. aku memang menginginkan agar kejadian itu terungkap dan takkan terulang lagi, sehingga tiada yang merasa sepertiku.  Namun airmataku tiba-tiba jatuh,  ku tak menyangka semua akan serumit ini. Aku  tak bermaksud membuat ibu Ira  dikeluarkan dari sekolah.  Sungguh aku merasa bersalah, aku merasa berdosa.  Karena aku ibu Ira dimutasi ke sekolah lain. “Maafkan aku Ibu” bisikku dengan tangis.

***
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar