Aku duduk di samping wali kelasku. Kulihat ibu Ira duduk menunduk tanpa
kata. Mutiara bening terjatuh dari matanya sesekali terdengar isak kala mendengarkan
kata-kata wakil kepala sekolah. Aku tak tega melihat ibu Ira menangis, namun akupun
kecewa pada apa yang telah dilakukannya.
Waktu itu ujian bahasa Inggris. ibu ira selaku guru sejarah, menjadi
pengawas ujian di kelasku. Ia memperbolehkan kami untuk menyontek. Sungguh aku tak tahan
melihat hal itu. Padahal sebelum-sebelumnya kami telah diberikan kisi-kisi soal
untuk lebih mudah kami pelajari. Tapi teman-teman malah lebih suka menyontek
daripada mengandalkan apa-apa yang telah mereka hafalkan.
Tak tahan melihat hal itu di kelas, aku mengerjakan semua soal
semampuku kemudian cepat-cepat keluar meninggalkan kelas dan menuju kamar kecil.
Aku menangis tak tahu harus mengadukan
hal ini pada siapa. Sungguh aku merasa ini tidak adil untukku.
Sebagai siswa kami
seharusnya belajar, untuk mendapatkan pengetahuan sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Entah itu saat latihan, ulangan ataupun
ujian. Bukan malah menyontek, ataupun sejenisnya. Tetapi teman-temanku lebih senang
diperbolehkan membuka catatan terkecuali aku dan 4 orang temanku.
Aku keluar dari kamar kecil. Tak sengaja aku bertemu wali kelasku,
ibu Asiyah.
“Farah, apa kamu sakit” tanyanya saat itu.
“tidak bu, hanya sedikit Flu” jawabku menyembunyikan kesedihanku.
Aku tak mau jika aku mengatakan yang sebenarnya teman-temanku akan
membenciku dan Ibu Ira akan marah kepadaku.
Selang sehari sejak peristiwa itu, aku lebih sering menyendiri,
entah itu di kelas, perpustakaan, di kantin ataupun di taman sekolah. Ku giatkan diriku untuk lebih banyak belajar, berharap
nilaiku lebih diatas teman-temanku. sehingga mereka tahu tanpa menyontek kitapun
bisa memperoleh nilai yang jauh lebih baik.
Aku sangat kecewa terhadap apa yang telah dilakukan teman-teman,
terlebih pada Ibu Ira. Selaku guru, seharusnya ia tak membolehkan kami
menyontek, membuka buku ataupun bertanya pada teman saat ujian. Karena ujian untuk mengetahui sejauh mana kemampuan kami
dalam memehami pelajaran yang telah diajarkan oleh para guru. Tapi ibu Ira malah sebaliknya.
Seminggu berlalu.
“Farah, apa kamu sudah menerima hasil Ujian bahasa Inggrismu ?”
Tanya Dewi salah seorang temanku.
Sejenak sesuana hening tanpa kata-kata, aku hanya bergeming mendengar
pertanyaannya.
Angin berhembus, menerpa wajahku yang dibalut jilbab. Aku terus
melangkah meninggalkan Dewi menuju ruang BP sambil menatap kertas yang ada di
genggamanku. Sesampaiku disana, kutulis keluhkesahku dalam buku harian sekolah.
Hingga butiran-butiran bening mengalir dipipiku yang tak dapat lagi kubendung.
Tragedi itu akhirnya
terungkap, ibu Ira mendapat panggilan dari kepala sekolah. Pada saat yang
samapula aku didampingi bu Asiyah dipanggil menghadapnya sebagai saksi
sekaligus korban. Rupanya mereka telah mengetahui ketidak adilan yang ku rasa
dari guru BP yang membaca buku harianku.
Ku lihat ibu Ira duduk menunduk tanpa kata. Pasrah akan konsekuensi
yang diberikan. aku memang menginginkan agar kejadian itu terungkap dan takkan terulang
lagi, sehingga tiada yang merasa sepertiku. Namun airmataku tiba-tiba jatuh, ku tak menyangka semua akan serumit ini. Aku tak bermaksud membuat ibu Ira dikeluarkan dari sekolah. Sungguh aku merasa bersalah, aku merasa
berdosa. Karena aku ibu Ira dimutasi ke
sekolah lain. “Maafkan aku Ibu” bisikku dengan tangis.
***