Hasih ibu, kepada beta…
Tak terhingga sepanjang masa…
Hanya memberi….
Tak harap kembali…
Bagai sang surya menyinari dunia…
Itulah lagu yang setiap kali ku nyanyikan, tak bisa kutahan
airmataku. mengalir deras, membasahi pipi mulusku. lagu yang mengingatkanku
kenangan terakhir bersama ibu saat 13 tahun silam. lagu terakhir yang
dinyanyikan oleh ibu sebagai pengantar tidurku.
Hingga saat ini aku tak tahu, seberapa ikhlaskah diriku merelakan
kepergian ibu. Aku tak tahu itu. Setiap kali aku mengenangnya selalu dan selalu
rasa sesak menghampiriku. dan butiran
beningpun tak bisa ku elakkan dari mataku. Selalu dan selalu rasa sesak itu
meninggalkan sakit yang tak bisa ku ungkap dengan kata-kata.
Aku tak bisa mengingat secara pasti bagaimana kenangan-kenangan terakhirku bersama ibu. Tak bisa mengingat dengan
jelas memory indah saat ibu masih
bersamaku. Namun ku coba kumpulkan secuil demi secuil ingatanku untuk
menuliskan apa yang selama ini ku rasakan.
sekitar 13 tahun lalu sebelum kematian ibu. Ibu adalah sosok ibu
rumah tangga dan wanita karir yang selalu membuatku bangga. Perempuan kuat yang selalu ada dan selalu memberikan
semangat pada ayah. Dulu ayah adalah seorang kepala desa di kampungku. Sedang
ibu adalah seorang ketua PKK.
Selang dua tahun ayah
menjabat sebagai seorang kepala desa. Ibuku jatuh sakit. Entahlah, Aku tak tahu penyakit apa yang di derita ibu
kala itu. wajah dan seluruh tubuh ibu
berubah menjadi kuning dan membengkak.
berdasarkan pemeriksaan dokter, Ibu terkena komplikasi penyakit liver, ginjal,
jantung dan lambung.
Pada waktu itu aku telah menduduki kelas I sekolah Dasar. Kira-kira umurku sekitar 5 tahun. Satahun lebih mudah dari teman-temanku. Saat itu aku sama sekali tak pernah berfikir ibuku
akan cepat meninggalkan aku.
Setahun telah berlalu. Namun ibu belum juga sembuh dari sakitnya. Penyakitnya tambah parah, tadinya wajah dan tubuhnya berwarnah kuning
berubah menjadi hitam bahkan ada bagian-bagian tertentu yang terkelupas seperti orang terbakar hidup-hidup. Dokter bilang ibu tak ada lagi harapan untuk hidup. Saat itupula
ibu dipulangkan dari rumah sakit dan dirawat di rumah nenek, dengan mengandalkan ramuan-ramuan herbal.
Benar saja Usia
ibuku tidak lama. Setelah seminggu dipulangkan dari rumah
sakit. Ibu meninggal dunia. Jeritan tangis dan histeris dari sanak saudara
terngiang di telingaku. Tak menyangka ibu benar-benar pergi meninggalkan aku
untuk selamanya.
“ Wah, ibumu telah meninggal, Ayo lihatlah untuk yang terakhir
kalinya sebelum ia dimakamkan !” ajak nenekku.
“nggak mau. wawa takut. Wawa nggak mau” teriak aku yang pada saat
itu menganggap bahwa yang terbaring itu
bukanlah ibuku.
Aku sama sekali tak mengenali ibu lagi. Wajahnya yang hitam
membuatku takut untuk mendekatinya.
“ayolah wah !” nenekkuu lalu
menarik dan menggendongku mendekati ibu.
“wawa nggak mau…. Wawa nggak mau… itu bukan ibuku… itu bukan ibuku”
teriak aku di pelukan nenek.
Meskipun aku telah berada di samping ibu. Aku tak mau melihat mayat
ibu. Mataku terus ku tutup dengan rapat dan tak mau membukanya, sampai ke
tempat pemakaman.
“ibuu…….. ibuuu…… ibuuu……ibuku jangan dimasukan ke dalam……” kalimat
itu tiba-tiba terucap ketika ku buka mataku.
Aku memberontak dari gendongan
nenek yang sedari tadi terus memelukku. Secepat kilat bapakku mengambilku, dan
menenangkanku.
seminggu sejak ibu meninggal. Ada hal lain yang ku rasa. Ada hal yang berbeda dalam setiap aktivitasku.
Ibuku yang setiap hari mengurusiku. Kini bapakkulah yang mengganti posisinya.
Saat tidur aku selalu menangis mengingat ibu. Mengingat lagu
terahir yang di nyanyikan ibu untukku. Ku
coba bernyanyi sendiri lagu kasih ibu untuk mengingat wajah ibu dan
kebarsamaanku dengannya. Namun belum selesai lagu itu ku nyanyikan airmataku telah
deras membanjiri pipiku. Aku baru menyadari
ternyata dulu ibu telah
mengisyaratkan kepadaku.
Waktu itu, sebelum ibu
meninggal ia selalu bertanya “ Wa jika
suatu saat ibu meninggal kamu tinggalnya
sama siapa ?” hampir setiap malam saat ibu menidurkan aku kalimat itu tak pernah alfa keluar dari mulutnya.
Mendengar pertanyaan ibu aku tak pernah menjawabnya. Aku selalu
lansung memeluknya jika mendengar kata itu. Aku tak mau
ibu meninggalkan ku. Aku
masih terlalulu dini, masih butuh kasih sayang, masih perlu didikan, dan perlu perhatian dari
seorang ibu.
Kini pertanyaan ibu telah terjawab. Mengapa dulu ibu selalu
menanyakan itu kepadaku. Tak lain agar
aku siap jika ibu tiada lagi dari sisiku. Namun sampai saat ini, aku tak
bisa. Aku masih tak siap. Aku masih belum ikhlas. Aku masih ingin merasakan
bagaimana kasih sayang dari seorang ibu yang dulu belum sama sekali ku ketahui.
Aku sama sekali tidak mengingat masa-masa indah bersama ibuku dengan jelas, ia
samar, ditutupi kabut.
Kadang timbul fikiran anehku. Andai saja aku bisa menelpon ibu di
alam sana. Akan ku kumpulkan semua uang jajanku untuk membeli pulsa
sebanyak-banyaknya. Agar bisa lebih lama
bercerita bersama ibu. Akan ku bangun tower untuk menguatkan jaringan agar
suara ibu bisa jelas terdengar. Namun semua itu lagi dan lagi hanyalah anganku.
kadang aku juga masih iri pada
mereka-meraka yang menceritakan kisah-kisahnya bersama ibu. Menangis jika mendengar kisah tentang ibu dari
teman-teman ibu….!!!! Aku mengenal sosok ibu dari sahabat-sahabatnya. Mengetahui
hal-hal yang di sukainya, hal-hal yang dibencinya dari teman dan sahabat ibu.
Pernah timbul fikiran negatifku beranggapan Allah tidak
menyayangiku, Allah tidak menyayangi ibu
sehingga kami terlalu cepat dipsahkan dan tak bisa lagi aku menemuinya . Namun ini bukan karena Allah tak menyayangiku atau tak
menyayangi ibu. Sebaliknya Allah sayang. Karena kami telah berada di alam yang
berbeda. Alam yang tak bisa ku lihat dengan mataku.
“ibu…. Aku hanya bisa
mendoakan mu selalu dalam setiap sujud-sujudku. Aku hanya bisa memberikan
baktiku lewat sahabat-sahabatmu. Semoga kelak kita benar-benar bertemu tanpa
ada hijab yang membatasi… ibu….. aku menyayangimu”