Kamis, 18 Desember 2014

___SEBUAH ISYARAT___



Hasih ibu, kepada beta…
Tak terhingga sepanjang masa…
Hanya memberi….
Tak harap kembali…
Bagai sang surya menyinari dunia…

Itulah lagu yang setiap kali ku nyanyikan, tak bisa kutahan airmataku. mengalir deras, membasahi pipi mulusku. lagu yang mengingatkanku kenangan terakhir bersama ibu saat 13 tahun silam. lagu terakhir yang dinyanyikan oleh ibu sebagai pengantar tidurku.

Hingga saat ini aku tak tahu, seberapa ikhlaskah diriku merelakan kepergian ibu. Aku tak tahu itu. Setiap kali aku mengenangnya selalu dan selalu  rasa sesak menghampiriku. dan butiran beningpun tak bisa ku elakkan dari mataku. Selalu dan selalu rasa sesak itu meninggalkan sakit yang tak bisa ku ungkap dengan kata-kata.

Aku tak bisa mengingat secara  pasti bagaimana kenangan-kenangan   terakhirku bersama ibu. Tak bisa mengingat dengan jelas memory  indah saat ibu masih bersamaku. Namun ku coba kumpulkan secuil demi secuil ingatanku untuk menuliskan apa yang selama ini ku rasakan.

sekitar 13 tahun lalu sebelum kematian ibu. Ibu adalah sosok ibu rumah tangga dan wanita karir yang selalu membuatku bangga. Perempuan  kuat yang selalu ada dan selalu memberikan semangat pada ayah. Dulu ayah adalah seorang kepala desa di kampungku. Sedang ibu adalah seorang ketua PKK.

Selang  dua tahun ayah menjabat sebagai seorang kepala desa. Ibuku jatuh sakit.  Entahlah, Aku tak tahu penyakit apa yang di derita ibu kala itu. wajah dan seluruh tubuh  ibu berubah menjadi kuning   dan membengkak. berdasarkan pemeriksaan dokter, Ibu terkena komplikasi penyakit liver, ginjal, jantung dan lambung.

Pada waktu itu aku telah menduduki kelas I sekolah Dasar.  Kira-kira umurku sekitar 5 tahun. Satahun  lebih mudah dari teman-temanku.   Saat  itu aku sama sekali tak pernah berfikir ibuku akan cepat meninggalkan aku.

Setahun telah  berlalu. Namun  ibu belum juga sembuh dari sakitnya.  Penyakitnya tambah parah,  tadinya wajah dan tubuhnya berwarnah kuning berubah menjadi hitam bahkan  ada  bagian-bagian tertentu yang  terkelupas seperti orang  terbakar hidup-hidup. Dokter bilang  ibu tak ada lagi harapan untuk hidup.  Saat  itupula ibu dipulangkan dari rumah sakit dan dirawat di rumah nenek,  dengan mengandalkan ramuan-ramuan herbal.
Benar  saja  Usia   ibuku  tidak  lama. Setelah seminggu dipulangkan dari rumah sakit. Ibu meninggal dunia. Jeritan tangis dan histeris dari sanak saudara terngiang di telingaku. Tak menyangka ibu benar-benar pergi meninggalkan aku untuk selamanya.

“ Wah, ibumu telah meninggal, Ayo lihatlah untuk yang terakhir kalinya sebelum ia dimakamkan !” ajak nenekku.
“nggak mau. wawa takut. Wawa nggak mau” teriak aku yang pada saat itu menganggap bahwa yang terbaring  itu bukanlah ibuku.
Aku sama sekali tak mengenali ibu lagi. Wajahnya yang hitam membuatku takut untuk mendekatinya.
“ayolah wah !” nenekkuu lalu  menarik dan menggendongku mendekati ibu.
“wawa nggak mau…. Wawa nggak mau… itu bukan ibuku… itu bukan ibuku” teriak aku di pelukan nenek.
Meskipun aku telah berada di samping ibu. Aku tak mau melihat mayat ibu. Mataku terus ku tutup dengan rapat dan tak mau membukanya, sampai ke tempat pemakaman.

“ibuu…….. ibuuu…… ibuuu……ibuku jangan dimasukan ke dalam……” kalimat itu tiba-tiba terucap ketika ku buka mataku.  Aku  memberontak dari gendongan nenek yang sedari tadi terus memelukku. Secepat kilat bapakku mengambilku, dan menenangkanku.
seminggu sejak ibu meninggal. Ada hal lain yang ku rasa.  Ada   hal yang berbeda dalam setiap aktivitasku. Ibuku yang setiap hari mengurusiku. Kini bapakkulah yang mengganti posisinya.

Saat tidur aku selalu menangis mengingat ibu. Mengingat lagu terahir yang di nyanyikan ibu untukku.  Ku coba bernyanyi sendiri lagu kasih ibu untuk mengingat wajah ibu dan kebarsamaanku dengannya. Namun belum selesai lagu itu ku nyanyikan airmataku telah deras membanjiri pipiku. Aku   baru   menyadari   ternyata dulu ibu telah mengisyaratkan kepadaku.

Waktu itu,  sebelum ibu meninggal ia selalu bertanya “ Wa  jika suatu saat  ibu meninggal kamu tinggalnya sama siapa ?” hampir setiap malam saat ibu menidurkan aku kalimat itu  tak pernah alfa keluar dari mulutnya.

Mendengar pertanyaan ibu aku tak pernah menjawabnya. Aku selalu lansung memeluknya jika mendengar kata itu. Aku   tak mau  ibu meninggalkan  ku.  Aku  masih  terlalulu dini,  masih  butuh kasih sayang,  masih perlu didikan, dan perlu perhatian dari seorang ibu.

Kini pertanyaan ibu telah terjawab. Mengapa dulu ibu selalu menanyakan itu kepadaku. Tak lain  agar aku siap jika ibu  tiada lagi  dari sisiku. Namun sampai saat ini, aku tak bisa. Aku masih tak siap. Aku masih belum ikhlas. Aku masih ingin merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang ibu yang dulu belum sama sekali ku ketahui. Aku sama sekali tidak mengingat masa-masa indah bersama ibuku dengan jelas, ia samar, ditutupi kabut.

Kadang timbul fikiran anehku. Andai saja aku bisa menelpon ibu di alam sana. Akan ku kumpulkan semua uang jajanku untuk membeli pulsa sebanyak-banyaknya. Agar bisa  lebih lama bercerita bersama ibu. Akan ku bangun tower untuk menguatkan jaringan agar suara ibu bisa jelas terdengar. Namun semua itu lagi dan lagi hanyalah anganku.

kadang  aku juga masih iri pada mereka-meraka yang menceritakan kisah-kisahnya bersama ibu. Menangis  jika mendengar kisah tentang ibu dari teman-teman ibu….!!!! Aku mengenal sosok ibu dari sahabat-sahabatnya. Mengetahui hal-hal yang di sukainya, hal-hal yang dibencinya dari teman dan sahabat ibu.

Pernah timbul fikiran negatifku beranggapan Allah tidak menyayangiku, Allah tidak menyayangi  ibu sehingga kami terlalu cepat dipsahkan dan tak bisa lagi aku menemuinya . Namun  ini bukan  karena Allah tak menyayangiku atau tak menyayangi ibu. Sebaliknya Allah sayang. Karena kami telah berada di alam yang berbeda. Alam yang tak bisa ku lihat dengan mataku.

“ibu…. Aku hanya bisa mendoakan mu selalu dalam setiap sujud-sujudku. Aku hanya bisa memberikan baktiku lewat sahabat-sahabatmu. Semoga kelak kita benar-benar bertemu tanpa ada hijab yang membatasi… ibu….. aku menyayangimu”
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar