“Duhai Hati, tabahlah dikau bersama kami dalam menempuh segala
ujian Allah. Ingatlah kembali hadiah-hadiah yang kau peroleh dari Allah. Buka
matamu seluas-luasnya. Semuanya milik Allah. Tak satupun punyamu. Semuanya
hanyalah pinjaman dari-Nya dan bila masanya Ia bisa mengambil semua kapanpun Ia
mau”
Sebait tulisan yang ku baca
dalam buku harian kaka. Tulisan yang selalu terngiang kala hatiku teringat akan
bunda.
Waktu itu, aku baru kelas II SD, sedang adikku belum mengenyam
pendidikan apapun. Bundaku yang kala itu telah sakit berbulan-bulan akhirnya
menghembuskan nafas terahirnya di pangkuan ayah. Dan sejak saat itulah kakaku
yang menjadi tempatku dan adikku mengeluh disaat bapakku tak berada di dekat
kami.
Kaka adalah orang yang sabar menghadapi kenakalan-kenakalanku dan
adikku kala kami banyak tingkah, mendidik kami dengan lembut tanpa kekerasan,
mengajarkan aku saat ada tugas sekolah, dan membacakan kami dongeng kala tidur
malam. Sungguh kaka menjadi pengganti ibu kami.
Walau kakaku mengerjakan
berbagai tanggung jawab rumah, namun kaka tidak meninggalkan kewajibannya
sebagai seorang siswa. kaka adalah siswa berprestasi di sekolahnya. Bahkan Ia pernah
memperolah juara satu saat mengikuti lomba cerdas cermat tingkat provinsi.
Setiap hari kaka harus bangun sebelum subuh, usai sholat subuh kaka
lansung mengerjakan berbagai pekerjaan rumah agar tidak terlambat ke sekolah.
Mulai dari Mencuci piring, menyiapkan sarapan,, dan menyiapkan makan siang
nantinya kemudian disimpan di lemari makan. Karena setiap hari kaka pulang
sekolah sekitar pukul setengah 2 siang. Pekerjaan itu tiap hari di lakukannya
dengan ikhlas tanpa ada sedikitpun keluhan.
Pernah suatu ketika ayahku jatuh sakit akibat penyakit yang di
deritanya. Waktu itu aku telah kelas V
SD dan adikku telah masuk SD. hampir setiap hari kaka ke sekolah selalu
terlambat. Dan hampir setiap hari pula kakaku menerima nasihat dan masukan dari
guru-gurunya.
“Sebagai kelas XII
seharusnya kamu lebih memfokuskan dirimu untuk menghadapi Ujian nasioanal, jika
tidak jangan menyesal jika kamu tidak lulus” kata bu Elis wali kelas kakaku.
Mengetahui hal itu, aku mulai membantu meringankan pekerjaan kaka.
mulai belajar mencuci piring lalu menyapu rumah dan halaman. Aku tak bisa
membayangkan seberapa capeknya kaka yang selama ini mengerjakan semua pekerjaan
rumah. Aku saja hanya menyapu halaman sudah merasa badanku begitu pegal.
Memasuki hari kaka Ujian nasional. Waktu itu aku bangun terlambat. Saat
bangun, kaka telah berangkat ke sekolah. Aku tak mengerjakan tugasku. Ku lihat
di atas meja telah ada sarapan untuk bapak, aku, dan adikku. Ku lihat dapur,
semua telah kaka bereskan dengan rapi. Kubuka RiceKooker. Nasi telah masak. Ku
lihat lemari makan lauk untuk siangpun telah ia siapkan.
Segera aku masuk ke kamar dan membangunkan adikku agar sarapan dan
siap-siap kesekolah. Ku lihat seragamku dan seragam adik telah kaka siapkan. Ku
dapati ada sebuah pesan dari kaka yang ditulisnya di sobekan kertas.
“dek, jangan lupa setelah
makan siang nanti piringnya segera dicuci. Usai sekolah kaka tak lansung pulang
karena ada belajar tembahan di Rumah guru”
Aku menangis membaca pesan
kaka. meski kaka sedang ujian, kaka masih bisa mengatur waktunya untuk
mengurusi kami. Aku berdoa semoga kaka mendapatkan nilai terbaik dalam
ujiannya. Akupun bertekat akan membahagiakan kaka, adik dan ayahku.